September 28, 2007

sisi gelap rokok

Dilematis. Ini mungkin kata yang paling tepat untuk menggambarkan masalah merokok bagi Indonesia yang tengah terpuruk dalam bidang sosial ekonomi. Negara sebagai pengambil kebijakan seolah-olah dalam posisi maju kena mundur kena.Tongkat Dewi Peri
Dalam dunia rokok, banyak logika yang terbalik-balik. Misalnya, ada mitos yang berkembang di masyarakat bahwa riset tentang dampak rokok terhadap kesehatan belum tuntas. Padahal faktanya, lebih dari 70 ribu artikel ilmiah telah membuktikan secara tuntas bahwa konsumsi rokok dan paparan terhadap asap rokok berbahaya bagi kesehatan. Mitos lain, pandangan sebagian masyarakat bahwa larangan merokok di tempat umum melanggar hak asasi seseorang. Padahal yang benar, justru merokok di tempat umum itulah yang melanggar hak orang lain untuk menikmati udara bersih, juga hak untuk tak diganggu asap rokok yang beracun.

Rokok tak ubahnya si Dewi Peri yang bisa mengibaskan tongkat ajaibnya dan mengubah cara pandang manusia. Lihat saja, pemerintah Indonesia hingga kini masih memandang bahwa industri rokok memainkan peran penting dalam perekonomian. Cara pandang pemerintah itu memang benar, jika yang dilihat hanyalah hasil jangka pendek. Cukai industri rokok menyumbang 5 persen dari total APBN dalam setahun. Bahkan pemerintah pernah menyanjung industri rokok, karena mereka meberikan suntikan cukai dan pajak sebesar Rp 50 triliun pada 2006 (artikel Tulus Abadi, Koran Tempo, 9 April 2007).

Dengan cara pandang myopik (tanpa melihat jauh), industri rokok di Indonesia memang menguntungkan secara ekonomis bagi sekitar 11 juta orang yang terlibat dalam industri rokok secara langsung maupun tak langsung. Namun kalau pemerintah memakai cara pandang yang komprehensif dan holistik, akan terlihat betapa keuntungan jangka pendek itu mengakibatkan dampak sosial, ekonomi, dan kesehatan yang jauh lebih mahal.

Indonesian Tobacco Control Network dalam blog-nya menyebut bahwa dana yang diperlukan untuk mengatasi dampak rokok per tahun Rp 81 triliun. Lalu Hakim Sorimuda Pohan, anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat, pernah menyebutkan bahwa biaya kesehatan yang terkait dengan masalah merokok mencapai Rp 14,5 triliun per tahun (Koran Tempo, 14 Maret 2007).

Juga Tulus Abadi dalam artikel yang sama, mengutip Dr Soewarta Kosen (An Economic Analysis of Tobacco Use in Indonesia, National Institute of Health Research & Development, 2004), menyebutkan bahwa pada periode 2001, total biaya konsumsi tembakau Rp 127,4 triliun. Jumlah itu digunakan untuk belanja tembakau, biaya pengobatan sakit akibat mengonsumsi tembakau, kecacatan, dan kematian dini. Angka tersebut setara dengan 7,5 kali lipat penerimaan cukai tembakau tahun yang sama, yaitu Rp 16,5 triliun.

Di luar itu, masih ada ongkos sosial, ekonomi, moral dan budaya yang belum dihitung.Menurut analisis Soewarta Kosen (ahli ekonomi kesehatan Litbang Departemen Kesehatan), total tahun produktif yang hilang karena penyakit yang terkait dengan tembakau di Indonesia pada 2005 adalah 5.411.904 disability adjusted life year (DALYs). Jika dihitung dengan pendapatan per kapita per tahun pada 2005 sebesar 900 dolar AS, total biaya yang hilang 4.870.713.600 dolar AS. Lalu pada periode 2001, jumlah kematian yang berhubungan dengan konsumsi tembakau mencapai 427.948 jiwa atau merupakan 22,5 persen dari total kematian di Indonesia.

Rokok dan Kemiskinan
Yang lebih menyayat hati adalah hasil penelitian Indonesian Forum on Parliamentarians for Population and Development (IFPPD) yang menghitung simulasi belanja pada keluarga miskin. Menurut survey BPS dua dari tiga ayah di Indonesia adalah perokok. Berdasar data itu, forum tersebut mencatat bahwa 12 juta ayah dari keluarga miskin adalah perokok. Mereka membelanjakan Rp 23 triliun setiap tahun untuk rokok.

Kaitan antara rokok dan kemiskinan pun tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di berbagai belahan dunia. Penelitian di Bangladesh yang berjudul hungry for Tobacco pada 2000 menunjukan bahwa tak pernah ada kata terlalu miskin untuk merokok. Sifat adiktif rokok membuat banyak orang melupakan prioritas. Kecanduan merokok susah dilepaskan, meskipun kondisi keuangan tak menguntungkan.

Wajah buruk dari dampak rokok dan industri rokok tidak terasakan. Mengapa demikian? Hal ini sangat dapat dimaklumi karena menurut survei AC Nielsen, kue iklan dari industri rokok pada tahun 2006 ini bernilai Rp 1,6 triliun. Uang sebesar ini bila dipakai untuk membeli rumah yang senilai Rp 50 juta bisa dapat 32 miliar unit rumah. Bayangkan bila uang itu disalurkan untuk subsidi perumahan rakyat, niscaya tak ada orang Indonesia yang menjadi gelandangan.

Namun kalangan industri rokok toh memilih menyalurkan uang senilai ‘32 miliar unit rumah’ itu untuk belanja iklan. Maklum, iklan melalui berbagai media, diyakini bisa ikut menggembirakan dunia rokok di kalangan masyarakat. Iklan rokok diyakini masih menjadi sarana yang efektif untuk menciptakan asmosfer psikologis masyarakat yang ramah pada rokok. Bahkan, iklan diyakini bisa menjadi faktor magis untuk membuai masyarakat pada kegemaran merokok. Dengan dana yang besar, kalangan industri rokok menyewa biro-biro periklanan yang cerdas dan piawai. Iklan-iklan rokok tersebut bisa dikatakan relatif sangat berhasil secara kualitatif.

Di luar negeri, contoh iklan rokok yang sukses adalah iklan Marlboro. Rokok produksi perusahaan Philip Morris ini pada 1954 pernah membuat iklan dengan ikon koboi gagah yang merokok di alam bebas. Konsep iklan itu sebetulnya untuk mempopulerkan sigaret filter, yang waktu itu masih dianggap feminin. Iklan Mallboro ini disebut-sebut sebagai salah satu dari iklan yang paling brilian sepanjang sejarah. Hanya dalam waktu sebulan, iklan itu mengubah citra rokok sigaret filter dari feminin ke maskulin. Dan dalam waktu delapan bulan sejak iklan Marlboro Man pertama kali diluncurkan, penjualan rokoknya meningkat 5.000 persen. Namun kesuksesan iklan tersebut menyimpan kisah ironis. Wayne McLaren dan David McLean, dua bintang iklan Mallboro, diberitakan meninggal dunia karena kanker paru-paru.

Beberapa kolega penulis yang meraih gelar doktor dalam bidang kimia, pernah menyampaikan bahwa dalam sejarah negeri kita dijajah oleh bangsa Eropa (Belanda), karena kita kaya dengan rempah-rempah. Salah satu primadonanya adalah cengkih dan tembakau.

Dari pengamatan dan penelitian para ahli, paling tidak ada 12 produk yang nilai dagangnya miliaran per tahun yang berbahan utama cengkeh, untuk berbagai keperluan baik pengobatan, kosmetik dan sebagainya. Ironisnya, produk itu sejak kita merdeka sampai sekarang tidak diproduksi oleh bangsa ini, kecuali sebagian kecil saja. Itupun lebih kepada keperluan lokal. Penulis berpikir untuk mengimbangi kekuatan perusahaan raksasa yang telah memproduksi barang-barang yang bernilai tinggi ini dibutuhkan pengusaha yang juga bermodal besar. Untuk ini alangkah baiknya bila perusahaan-perusahaan rokok di Indonesia diberi insentif untuk mulai mengubah orientasi produknya atau paling tidak mulai meluaskan produknya.

http://dedidwitagama.wordpress.com/2007/09/12/sisi-gelap-rokok/

Tidak ada komentar: