Agustus 27, 2012

POLIP NASI


Definisi
            Polip hidung adalah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. 
Patogenesis
            Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi saraf otonom serta predisposisi genetik. Menurut teori Bernstein, terjadi perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara yang berturbulensi, terutama di daerah sempit di kompleks ostio-meatal. Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan kelenjar baru. Juga terjadi peningkatan penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polip.
            Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vascular yang mengakibatkan dilepasnya sitokin-sitokin dari sel mast, yang akan menyebabkan edema dan lama-kelamaan menjadi polip. 
            Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar menjadi polip dan kemudian akan turun ke rongga hidung menjadi tangkai. 
Makroskopis
            Secara markroskopis polip merupakan massa bertangkai dengan permukaan licin, bentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan, agak bening, lobular, dapat tunggal atau multiple dan tidak sensitive (bila ditekan/ditusuk tidak terasa sakit). Warna polip yang pucat tersebut disebabkan karena mangandung banyak cairan dan sedikitnya aliran darah ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau proses peradangan warna polip dapat berubah menjadi kemerah-merahan dan polip yang sudah menahun warnanya dapat menjadi kekuning-kuningan karena banyak mengandung jaringan ikat. 
            Tempat asal tumbuhnya polip terutama di kompleks ostio-meatal di meatus medius dan sinus ethmoid. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan endoskop, mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat. 
            Ada polip yang tumbuh ke arah belakang dan membesar di nasofaring, disebut polip koana. Polip koana kebanyakan berasal dari sinus maksila dan disebut juga polip antro-koana. 
Mikroskopis
            Secara mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa hidung normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang sembab. Sel-selnya terdiri dari limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrofil dan makrofag. Mukosa mengandung sel-sel goblet. Pembuluh darah dan kelenjar sangat sedikit. Polip yang sudah lama dapat mengalami metaplasia epitel karena sering terkena aliran udara, menjadi epitel transisional, kubik atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi. Berdasarkan jenis sel peradangannya polip dikelompokkan menjadi 2, yaitu polip tipe eosinofilik dan tipe neutrofilik.
Diagnosis
Anamnesa
Keluhan utama :
·         Hidung tersumbat, dari ringan-berat
·         Rinore, mulai yang jernih sampai purulen
·         Hiposmia/anosmia
·         Dapat disertai bersin-bersin, nyeri pada hidung disertai sakit kepala di daerah frontal.
·         Bila disertai infeksi sekunder didapati post nasal drip dan rinore purulen
Gejala sekunder : bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur, penurunan kualitas hidup. Dapat menyebabkan gejala saluran napas bawah, berupa batuk kronik dan mengi, terutama pada penderita polip nasi dengan asma.
Harus ditanyakan riwayat rhinitis, alergi, asma, intoleransi terhadap aspirin dan alergi obat lainnya serta alergi makanan.
Pemeriksaan Fisik
·         Hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung akibat polip nasi yang massif yang menyebabkan deformitas hidung luar
·         Rinoskopi anterior : massa berwarna pucat, berasal dari meatus medius, mudah digerakkan
Stadium polip (Mackey dan Lund, 1997) :
·         Stadium 1 : polip masih terbatas di meatus medius
·         Stadium 2 : polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi belum memenuhi rongga hidung
·         Sradium 3 : polip yang massif


Pemeriksaan Penunjang
Naso-endoskopi
            Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi.
            Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila.
Pemeriksaan radiologi
            Foto polos sinus paranasal (posisi waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan di dalam sinus, namun kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan CT scan sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan apda KOM. 
Tatalaksana
            Tujuan utama : menghilangkan keluhan, mencegah komplikasi, mencegah rekuren polip. Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi medikamentosa. Dapat diberikan topical atau sistemik. Polip eosinofilik memberikan respon yang lebih baik terhadap pengobatan kortikosteroid intranasal dibandingkan polip tipe neutrofilik.
            Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau yang sangat massif dipertimbangkan untuk terapi bedah. Dapat dilakukan ekstraksi polip (polipektomi) menggunakan senar polip atau cunam dengan analgesi local, etmoidektomi intranasal atau etmoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid, operasi Caldwell-Luc untuk sinus maksila. Yang terbaik ialah bila tersedia fasilitas endoskop maka dilakukan BSEF (Bedah Sinus Endoskopi Fungsional/ FESS).

http://www.rcot.org/pdf/Med-Surg-Nasal%20Polyp.pdf

Reff :
1.      Elise K, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT, Ed 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.

Agustus 24, 2012

VAGINITIS


II.1 Vaginitis
Vaginitis adalah salah satu peradangan atau infeksi pada lapisan Vagina,
disebabkan oleh berbagai macam virus dan bakteri. Vaginitis adalah diagnosis masalah ginekologis yang paling sering terjadi di pelayanan primer.  Pada sekitar 90% dari perempuan yang terkena, kondisi ini disebabkan oleh vaginosis bakterial, kandidiasis atau trikomoniasis vulvovaginal. 

Ada dua jenis inflamasi (peradangan) pada vagina (vaginitis), yaitu vaginitis infeksi dan vaginitis non-infeksi. Vaginitis infeksi disebabkan oleh organisme seperti jamur Candida albicans dan bakteri Haemophillus vaginalis. Mikroorganisme yang merugikan (patogen) ini menyebabkan infeksi dan memerlukan penanganan medis sesegera mungkin. Sedangkan vaginitis non-infeksi disebabkan oleh iritasi bahan-bahan kimia dalam krim, semprot, sabun atau pakaian yang kontak dengan daerah seputar bagian luar vagina (vulva). Perubahan hormon selama kehamilan atau menopause juga dapat menimbulkan inflamasi pada vagina
Di bawah ini beberapa penyebab yang menimbulkan infeksi pada vagina:
  1. Infeksi karena jamur dan bakteri, seperti jamur Candida albicans dan bakteri Haemophillus vaginalis
  2. zat-zat yang bersifat iritatif, seperti sabun cuci dan pelembut pakaian
  3. Kurang menjaga kebersihan daerah sekitar vagina
  4. Pakaian dalam yang terlalu ketat, tidak berpori-pori dan tidak menyerap keringat
  5. Perubahan hormonal
Vaginitis terjadi ketika flora vagina telah terganggu oleh adanya mikroorganisma patogen atau perubahan lingkunang vagina yang memungkinkan mikroorganisma patogen berkembang biak/berproliferasi.  Pemeriksaan untuk vaginitis meliputi penilaian risiko dan pemeriksaan fisik, dengan fokus perhatian pemeriksaan pada adanya dan karakteristik dari discharge vagina.  Pemeriksaan laboratorium diantaranya: metode sediaan basah garam fisiologis (Wet Mount) dan KOH, pemeriksaan PH discharge vagina dan "whiff" test. Pengobatan untuk vaginosis bacterial dan trikomoniasis adalah metronidazol, sementara untuk kandidiasis vaginal, pilihan pertama adalah obat anti jamur topikal (Am Fam Physician 2000;62:1095-104.)
Penderita biasanya mengeluh vagina yang berbau tidak enak (amis). Bau amis sering dinyatakan sebagai satu-satunya gejala yang tidak menyenangkan dan bervariasi dari ringan sampai berat. Pada pemeriksaan ditemukan cairan vagina dengan konsistensi dari encer sampai seperti lem, yang jumlahnya ber-variasi dari sedikit sampai banyak, berwarna abu-abu, homogen dan berbau amis. Cairan ini cenderung melekat pada dinding vagina dengan rata dan terlihat sebagai lapisan tipis atau kilauan difus. Bila dihapus tampak mukosa vagina yang normal. Kadang-kadang terdapat peradangan ringan.
Pada sekitar 90% dari perempuan yang terkena, kondisi ini disebabkan oleh vaginosis bakterial, kandidiasis atau trikomoniasis vulvovaginal. 

II.2 Organisme Patogen
Vaginosis bacterial
Di Amerika Serikat, bakterial vaginosis merupakan penyebab vaginitis yang terbanyak, mencapai sekitar 40 sampai 50% dari kasus pada perempuan usia reproduksi. Infeksi ini disebabkan oleh perkembangbiakan beberapa organisme, termasuk di antaranya Gardnerella vaginalis, Mobiluncus species, Mycoplasma hominis dan Peptostreptococcus species.



Menentukan angka prevalensi bakterial vaginosis adalah sulit karena sepertiga sampai dua pertiga kasus pada perempuan yang terkena tidak menunjukkan gejala (asimptomatik). Selain itu, angka prevalensi yang dilaporkan bervariasi menurut populasi. Bakterial vaginosis ditemukan pada 15-19% pasien-pasien  rawat inap bagian kandungan, 10-30% ibu hamil dan 24-40% pada klinik kelamin.
Walaupun angka prevalensi bakterial vaginosis lebih tinggi pada klinik-klinik kelamin dan pada perempuan yang memiliki pasangan seks lebih dari satu, peran dari penularan secara seksual masih belum jelas.  Berbagai penelitian membuktikan bahwa mengobati pasangan dari perempuan yang menderita bakterial vaginosis tidak memberi keuntungan apapun dan bahkan perempuan yang belum seksual aktif juga dapat terkena infeksi ini. Faktor risiko tambahan untuk terjadinya bakterial vaginosis termasuk pemakaian IUD, douching dan kehamilan.
Patogenesis infeksi
Sampai sekarang belum jelas mengapa G. vaginalis bisa menyebabkan VB. Sam­pai 50% wanita sehat ditemukan kolonisasi G. vaginalis juga meski dalam jumlah sedikit. Tandanya kuman tersebut merupakan flora normal dalam vagina. Meski akhirnya dibantah banyak peneliti karena  G. vaginalis lebih sering ditemu­kan pada para penderita VB daripada wa­nita dengan vaginitis lainnya. G. vaginalis dituding sebagai penyebab naiknya perbandingan antar suksinat dan laktat (0.4 atau lebih) dibanding wanita normal me­la­lui analisis asam lemak cairan vagina de­ngan gas liquid chromatography.
Sekret vagina pada VB berisi beberapa senyawa amin termasuk di dalamnya put­resin, kada verin, metilamin, isobutila­min, feniletilamin, histamin, dan tiramin. Setelah pengobatan berhasil sekret akan menghilang. Basil anaerob mungkin mem­punya peranan penting pada patogenesis VB karena setelah dilakukan isolasi, analisis biokimia sekret vagina dan efek pengobatan dengan metronidazol ter­nyata efektif untuk G. vaginalis sebagai kuman anaerob.
Dapat terjadi simbiosis antara G. vaginalis sebagai pembentuk asam amino dan kuman anaerob beserta bakteri fa­kul­tatif dalam vagina yang mengubah asam amino menjadi amin sehingga me­naikkan pH sekret vagina sampai sua­sa­na yang menyenangkan bagi pertumbuh­an G. vaginalis. Setelah pengobatan efektif, pH cairan vagina menjadi normal. Be­be­rapa amin diketahui menyebabkan iritasi kulit dan menambah pelepasan sel epitel dan menyebabkan duh tubuh ber­bau tidak sedap yang keluar dari vagina.
Masih belum jelas apakah penyakit ini bersifat endogen atau ditularkan melalui kontak seksual. G. vaginalis  melekat pa­da sel-sel epitel vagina in vitro, kemudian menambah deskuamasi sel epitel vagina sehingga terjadi perlekatan duh tubuh pa­da dinding  vagina. Organisme ini tidak in­vasive dan respons inflamasi lokal yang terbatas dapat dibuktikan dengan sedikitnya jumlah leukosit dalam secret vagina dan dengan pemeriksaan histopatologis.

Kandidiasis Vulvovaginal
Kandidiasis vulvovaginal adalah penyebab vaginitis terbanyak kedua di Amerika Serikat dan yang terbanyak di Eropa. Sekitar 75% dari perempuan pernah mengalami kandidiasis vulvovaginal suatu waktu dalam hidupnya, dan sekitar 5% perempuan mengalami episode rekurensi. Agen penyebab yang tersering (80 sampai 90%) adalah Candida albicans. Saat ini, frekuensi dari spesies non-albicans (misalnya, Candida glabrata) meningkat, mungkin merupakan akibat dari peningkatan penggunaan produk-produk anti jamur yang dijual bebas.



Faktor risiko untuk terjadinya kandidiasis vulvovaginal sulit untuk ditentukan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa risiko untuk terinfeksi penyakit ini meningkat pada perempuan yang menggunakan kontrasepsi oral, diaphragma dan spermicide, atau IUD. Faktor risiko yang lain termasuk melakukan hubungan seksual pertama kali ketika umur masih muda, melakukan hubungan seks lebih dari empat kali per bulan dan oral seks. Risiko kandidiasis vulvovaginal juga meningkat pada perempuan dengan diabetes yang sedang hamil atau minum antibiotik.
Komplikasi kandidiasis vulvovaginal jarang terjadi.  Chorioamnionitis pada saat hamil dan syndrome vestibulitis vulva pernah dilaporkan.
Pruritus dan duh vagina merupakan keluhan umum tetapi  tidak spesifik VVC. Nyeri vagina, iritasi, rasa terbakar, dyspareunia dan dysuria eksternal juga sering rnenyertai, bau  sedikit dan tidak menonjol, eritema dan bengkak labia serta vulva. Yang khas adalah bahwa gejala meningkat seminggu sebelum menstruasi dan sedikit menurun dengan mulainya haid meskipun kadang-kadang Candida spp. menyebabkan balanophositis pada pasangan wanita dengan kandidiasis, yang lebih sering terjadi adalah ruam sementara, eritema dan pruritus atau sensasi terbakar pada penis yang muncul dalam beberapa menit/jam setelah hubungan seksual.
Kelangkaan relatif spesifisitas simptom dan tanda-tanda menyebabkan diagnosis didasarkan pada sejarah dan pemeriksaan fisik semata. Kebanyakan penderita vaginitis simptomatik dengan segera didiagnosis berdasarkan pengamatan rnikroskopik dasar sederhana terhadap sekresi vagina dan penentuan pH.
Adalah sulit untuk memastikan spesies Candida sebagai penyebab vaginitis karena sekitar 50% perempuan yang tidak mengalami gejala apapun pada vaginanya ditemukan Candida sebagai bagian dari flora endogen vagina. Candida tidak ditularkan secara sexual, dan episode kandidiasis vulvovaginal tidak berhubungan dengan jumlah pasangan seksual yang dimiliki. Mengobati laki-laki pasangan seksual dari seorang perempuan yang menderita kandidiasis tidak perlu dilakukan, kecuali laki-laki tersebut tidak disunat atau ada peradangan pada ujung/glans penis.
Kandidiasis vulvovaginal rekuren/berulang didefinisikan sebagai terjadinya empat atau lebih episode kandidiasis vulvovaginal dalam periode satu tahun. Belum jelas apakah rekurensi ini terjadi karena berbagai faktor predisposisi atau presipitasi.

Trikomoniasis
Trikomoniasis, suatu tipe dari vaginitis, umumnya adalah sebuah Penyakit Menular Seksual (PMS).  Karena adanya kebiasaan penentuan jenis penyakit dan pengobatan oleh klien sendiri dan diagnosis oleh petugas kesehatan tanpa menggunakan pemeriksaan yang memadai, beberapa orang dengan trikomoniasis tidak terdiagnosis.  Penentuan jenis penyakit sendiri dapat terjadi karena terdapatnya obat-obat yang dijual bebas.  Gejala dan tanda trikomoniasis tidak begitu spesifik, dan penegakan diagnosis memebutuhkan pemeriksaan laboratorium sederhana seperti sediaan basah (wet mount).




Trikomoniasis dapat menyebabkan seseorang kehilangan hari kerjanya karena adanya rasa yang tidak enak yang disebabkannya, sehingga infeksi ini seharusnya tidak diabaikan begitu saja.  Adanya kejadian infeksi gabungan dengan PMS lain penting untuk diperhatikan pada saat membuat diagnosis trikomoniasis. Trikomoniasis merupakan masalah bagi penderitanya karena gejala dan kemungkinan komplikasi yang disebabkannya.
Protozoa Trichomonas vaginalis, sebuah organisme yang motile dengan 4 flagella, adalah penyebab ke tiga terbanyak dari vaginitis. Penyakit ini mengenai 180 juta perempuan di seluruh dunia dan merupakan 10 sampai 25% dari infeksi vagina. Saat ini, angka insidensi vaginitis trichomonal terus meningkat di kebanyakan negara-negara industri.
Trichomonas vaginalis menular melalui hubungan seksual dan ditemukan pada 30 sampai 80 persen laki-laki pasangan seksual dari perempuan yang terinfeksi. Trikomoniasis berhubungan dan mungkin berperan sebagai vektor untuk penyakit kelamin lain. Berbagai penelitian membuktikan bahwa penyakit ini meningkatkan angka penularan HIV.
Faktor risiko untuk trikomoniasis termasuk penggunaan IUD, merokok dan pasangan seksual lebih dari satu. Sekitar 20%-50% dari perempuan dengan trichomoniasis tidak mengalami gejala apapaun. Trikomoniasis mungkin berhubungan dengan ketuban pecah dini dan kelahiran prematur. Pasangan seksual harus diobati dan diberi instruksi untuk tidak melakukan hubungan seksual sampai ke dua pihak sembuh.
Patofisiologi
Gambaran fisiologis discharge vagina normal terdiri dari sekresi vaginal, sel-sel exfoliated dan mukosa serviks. Frekunsi discharge vagina bervariasi berdasar umur, siklus menstruasi dan penggunaan kontrasepsi oral.



Lingkungan vagina normal digambarkan oleh adanya hubungan dinamis antara Lactobacillus acidophilus dan flora endogen lain, estrogen, glikogen, pH vagina dan produk metabolisme flora dan organisme patogen. L. acidophilus memproduksi hydrogen peroxide (H2O2), yang bersifat toksik terhadap organisme patogen dan menjaga pH vagina sehat antara 3.8 dan 4.2. Vaginitis muncul karena flora vagina diganggu oleh adanya organisme patogen atau lingkungan vagina berubah sehingga memungkinkan organisme patogen berkembang biak.
Antibiotik, kontrasepsi, hubungan seksual, douching, stress dan hormon dapat mengubah lingkungan vagina dan memungkinkan organisme patogen tumbuh. Pada vaginosis bakterial, dipercayai bahwa beberapa kejadian yang provokatif menurunkan jumlah hydrogen peroxide yang diproduksi L. acidophilus organisms. Hasil dari perubahan pH yang terjadi memungkinkan perkembangbiakan berbagai organisme yang biasanya ditekan pertumbuhannya seperti G. vaginalis, M. hominis dan Mobiluncus species. Organisme tersebut memproduksi berbagai produk metabolik seperti ‘amine’, yang akan meningkatkan pH vagina dan menyebabkan exfoliasi sel epitel vagina. Amine inilah yang menyebabkan adanya bau yang tidak enak pada infeksi vaginosis bakterial.
Dengan fisiologi yang sama, perubahan lingkungan vagina, seperti peningkatan produksi glikogen pada saat kehamilan dan tingkat progesterone karena kontrasepsi oral, memperkuat penempelan C. albicans ke sel epitel vagina dan memfasilitasi pertumbuhan jamur. Perubahan-perubahan ini dapat mentransformasi kondisi kolonisasi organisme yang asimptomatik menjadi infeksi yang simptomatik.  Pada pasien dengan trikomoniasis, perubahan tingkat estrogen dan progesterone, sebagaimana juga peningkatan pH vagina dan tingkat glikogen, dapat memperkuat pertumbuhan dan virulensi T. vaginalis.

II.3 Gejala dan diagnosis
GEJALA
-Vagina berwarna merah dan keputihan
-gatal pada daerah kemaluan
-perih pada lubang vagina
-keluar cairan berbau tak sedap
-vagina terasa panas/terbakar
KRITERIA DIAGNOSIS
1.Dari pemeriksaan mikroskopis cairan vagina tidak ditemukan jamur, trikomonas, ataupun gonokokus.
2.cairan vagina ditandai gejala :
a. kualitas cairan homogen, encer sampai seperti lem, ke-abu-abuan.
b. pH > 4,5.
c. tercium bau amina yang amis pada penambahan KOH 10%.
d. Clue cell (Gard. vaginalis).
3.Pemeriksaan kromatografi gas-liquid: ratio suksinat-laktat meninggi (> 0,4).
4.Pemeriksaan kulktur.

II.4 Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan pH vagina
Pada penderita vaginitis bakterial dijumpai pH vagina > 4,5. Menurut Fleury (1983) pada penderita vaginitis dijumpai pH 5 ­ 5,5, sedangkan tanpa keluhan pH 4,5). Eschen-bach (1988) berpendapat pH < 4,5 dapat menyingkirkan kemungkinan adanya vaginosis bakterial. Pemeriksaan pH va-gina ini bersifat sensitif, tetapi tidak spesifik untuk vaginitis bakterial.
b. Tes amin dengan KOH 10% (tes Whiff)
Tes amin ini mula-mula dilakukan oleh Pfeifer dkk. (1978) yaitu dengan meneteskan KOH 10% di atas gelas obyek yang ada cairan vagina. Hasil dinyatakan positif bila tercium bau amoniak. Karena bau yang timbul bersifat sementara, gelas obyek hendaknya didekatkan ke hidung. Bau yang timbul me-rupakan produk metabolisme yang kompleks yaitu poliamin yang pada suasana basa akan menguap. Tes ini cukup dapat percaya karena bersifat sensitif dan spesifik bila dikerjakan de-ngan baik.
c. Pemeriksaan garam faal
Dalam pemeriksaan ini dapat dilihat antara lain, laktobasilus, leukosit, trikomonas dan clue cell.
d. Pewarnaan gram
Pada vaginitis bakterial jumlah bakteri G. vaginalis, Bac-teroides sp.,Peptostreptococeus sp.danMobiluncus sp. meningkat 100 sampai 1000 kali lebih banyak daripada normal.
e. Pemeriksaan kultur
Bermacam-macam media dianjurkan untuk pemeriksaan kultur antara lain agar coklat, agar casman, agar vaginalis, human blood agar, agar pepton starch dan Columbia-colistin-nalidixic acid. Kultur biasanya dilakukan pada suhu 37° C selama 48­72 jam. Sebagai media transport dapat digunakan media transport Stuart atau Amies

II.5 Pengobatan
1. Topikal
Pemakaian krim sulfonamida tripel, supositoria yang berisi tetrasiklin ataupun povidon iod in, biasanya kurang memuaskan dan penyembuhan hanya sementara selama penggunaan obat topikal tersebut
2. Sistemik
a.Metronidazol : Dengan dosis 2 kali 400 mg atau 2 kali 500 mg setiap hari selama 7 hari atau tinidazol 2 kali 500 mg setiap hari selama 5 hari, dicapai angka penyembuhan lebih dari 90%.
b.Penisilin dan derivatnya : Penisilin G cukup efektif untuk beberapa bakteri anaerob dengan dosis kira-kira 2 ­ 10 juta Unit setiap hari selama 5 hari. Sedangkan ampisilin atau amoksisilin dengan dosis 4 kali 500 mg setiap hari selama 5 hari. Kegagalan pengobatan dengan penisilin dan derivatnya dapat diterangkan dengan adanya beta laktamase yang di-produksi oleh Bacteroides sp.
c.Tetrasiklin dan Kloramfenikol : Sekarang jarang dipakai karena kurang efektif
d.Eritromisin : Terutama efektif untuk bakteri anaerob gram positif seperti Bacteroides, Streptococcus dan Clostridia
e.Sefalosporin dan sefoksitin.
f.Klindamisin

RHINITIS ALERGI


A. RHINITIS ALERGI
a. Definisi
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 Rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh lg E.4
b. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu :4
1. Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat
(RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya. Munculnya segera dalam 5-30 menit, setelah terpapar dengan alergen spesifik dan gejalanya terdiri dari bersin-bersin, rinore karena hambatan hidung dan atau bronkospasme. Hal ini berhubungan dengan pelepasan amin vasoaktif seperti histamin.
2. Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Muncul dalam 2-8 jam setelah terpapar alergen tanpa pemaparan tambahan. Hal ini berhubungan dengan infiltrasi sel-sel peradangan, eosinofil, neutrofil, basofil, monosit dan CD4 + sel T pada tempat deposisi antigen yang menyebabkan pembengkakan, kongesti dan sekret kental.

c. Klasifikasi Rhinitis Allergi4
Berdasarkan sifat berlangsungnya, rhinitis alergi dibedakan atas :
1.      Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, pollinosis)
Hanya ada pada negara dengan 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepung sari dan spora jamur.
2.      Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial)
Gejala rinitis alergi sepanjang tahun timbul terus-menerus atau intermitten, tanpa variasi musim, dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab paling sering adalah allergen inhalandan allergen ingestan. Gangguan fisiologik pada golongan perennial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman tapi karena lebih persisten, maka komplikasinya lebih sering ditemukan.
Berdasarkan ARIA


d. Diagnosis
1. Anamnesa4,6
·         Bersin berulang-ulang
·         Hidung tersumbat.
·         Rinore, pada alergi biasanya bening dan encer, tetapi dapat menjadi kental dan putih keruh atau kekuning-kuningan jika berkembang menjadi infeksi hidung atau infeksi sinus.
·         Hidung gatal dan juga sering disertai gatal pada mata yang kadang-kadang disertai lakrimasi (Konjungtivitis)
·         Evaluasi lingkungan rumah dan sekolah
·         Tanyakan tentang penggunaan obat sebelumnya
·         Tanyakan tentang riwayat keluarga apakah ada penyakit atopik
2. Pemeriksaan Fisik4
·         Rhinoskopi anterior : mukosa edema, basah, warna pucat atau livid disertai secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi





Probst-Grevers-Iro, Basic Otorhinolaryngology, 2006
Gambar 2
·         Gejala spesifik pada anak : allergic shiner, allergic salute, allergic crease, facies adenoid, cobblestone appearance, geographic tongue.

Tabel 1

3. Pemeriksaan penunjang4
·         In Vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri. 4
·         In Vivo
Uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin End-point Titration/SET), dilakukan untuk allergen inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain allergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.4

Untuk allergen makanan, dilakukan Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), sebagai baku emas dapat dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test). Pada Challenge test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan. 4

4. Tatalaksana
Ø  Hindari kontak dengan allergen penyebabnya dan eliminasi
Ø  Medikamentosa :
-          Antihistamin
Antihistamin efektif mengurangi gejala gatal, bersin dan rinore dan digunakan sebagai terapi first-line pada rhinitis alergi. 7
-generasi-1 (sedatif) : bersifat lipofilik, menembus sawar darah otak dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Contohnya difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin, yang secara topical contohnya azelastin.4
-generasi-2 (non sedatif) : bersifat lipofobik, sulit menembus sawar darah otak, bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek anti kolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP minimal. Dibagi 2 golongan, pertama adalah astemisol dan terfenedin mempunyai efek kardiotoksik, kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin dan levosetirisin.4
-          Simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa
Dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topical. Dekongestan oral kontraindikasi pada pasien yang mengkonsumsi MAOI atau dengan hipertensi tidak terkontrol atau penyakit arteri koroner yang berat. Pemakaian secara topical hanya boleh beberapa hari saja (4-5 hari) untuk menghindari terjadinya rhinitis medikamentosa.4,7
-          Kortikosteroid
Dipilih bila gejala gejala terutama sumbatan hidung tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topical (beklometason, budenosid, triamsinolon, flutikason) yang bekerja untuk mengurangi jumlah sel matosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dan eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma sehingga menyebabkan epitel hidung tidak hiperesponsif terhadap rangsangan allergen. 4
-          Antikolinergik topical
Yaitu ipratropium bromide, bermanfaat untuk mengatasi rinore karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor. Antikolinergik menurunkan produksi mucus dan mengurangi rinore. 4,7
-          Pengobatan lain à anti leukotrien, anti IgE, DNA rekombinan4
Leukotrien inhibitor merupakan medikasi kelas terbaru yang digunakan untuk rhinitis alergi. Beberapa studi besar menunjukkan penurunan gejala seperti gatal, sneezing, rinore dan kongesti. Keefektifan terlihat ketika dikombinasikan dengan antihistamin oral tetapi studi menunjukkan kortikosteroid inhalasi memiliki perbaikan lebih baik untuk gejala obstruksi nasal dibandingkan dengan leukotrien inhibitor.leukotrien inhibitor merupakan first line therapy untuk pasien dengan asma persisten. 4,7
Ø  Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.4
Ø  Imunoterapi
Dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil memuaskan. Tujuannya adalah pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. 2 metode yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual.4

Bagan



5. Komplikasi4
·         Polip hidung
·         Otitis media efusi yang sering residif
·         Sinusitis paranasal

  1.  The Prime Health. Rhinorrhea – Definition, Symptoms, Causes, Diagnosis and Treatment.  2010. Available from URL: http://www.primehealthchannel.com/rhinorrhea-definition-symptoms-causes-diagnosis-and-treatment.html
  2.  Wikipedia. 2010. Available from URL: http://en.wikipedia.org/wiki/Rhinorrhea
  3.  http://download.journals.elsevierhealth.com/pdfs/journals/0091-6749/PIIS0091674995702113.pdf
  4. Elise K, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT, Ed 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. hal. 3,128-142, 150-3
  5.  Elizabeth A et al. Management of allergic and non-allergic rhinitis: a primary care summary of the BSACI guideline. 2010. Available from URL: http://www.thepcrj.org/journ/vol19/19_3_217_222.pdf
  6.  Peter S, Harold K. Allergic rhinitis. 2011. Available from URL: http://www.aacijournal.com/content/pdf/1710-1492-7-S1-S3.pdf
  7.  University of Michigan. Allergic Rhinitis Guideline. 2007. Available from URL: http://cme.med.umich.edu/pdf/guideline/allergic07.pdf